Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

Betapa banyak orang yang mendewakan akal. Setiap perkara selalu dia timbang-timbang dengan akal atau logikanya terlebih dahulu. Walaupun sudah ada nash Al Qur’an atau Hadits, namun jika bertentangan dengan logikanya, maka logika lebih dia dahulukan daripada dalil syar’i. Inilah yang biasa terjadi pada ahli kalam. Lalu bagaimanakah mendudukkan akal yang sebenarnya? Apakah kita menolak dalil akal begitu saja? Ataukah kita mesti mendudukkannya pada tempatnya?
Simak pembahasan kami ini
(Menundukkan Akal pada Tempatnya) secara tuntas dalam dua seri. Semoga Allah memberikan kepahaman.


Sebelum Melangkah Lebih Jauh

Terlebih dahulu yang kita harus pahami, setiap insan beriman hendaklah bersikap patuh dan tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya. Setiap wahyu yaitu Al Qur’an dan Hadits itu berasal dari-Nya. Rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu tersebut. Sedangkan kita memiliki kewajiban untuk menerima wahyu tadi secara lahir dan batin.
Allah
Ta’ala berfirman,

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. At Taghabun: 12)

Az Zuhri –rahimahullah- mengatakan,

مِنَ اللَّهِ الرِّسَالَةُ ، وَعَلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْبَلاَغُ ، وَعَلَيْنَا التَّسْلِيمُ

Wahyu berasal dari Allah. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan kepada kita. Sedangkan kita diharuskan untuk pasrah (menerima).” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitabut Tauhid secara mu’allaq yakni tanpa sanad)

Oleh karena itu, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara, maka tidak ada pilihan bagi seorang muslim untuk berpaling kepada selainnya, kepada perkataan ulama A, kyai B, ustadz C atau pun logikanya sendiri, padahal pendapat mereka telah nyata menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

Ibnul Qayyim –rahimahullah- mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.a ” (Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25). Baca artikel terkaitdi sini.

Perintah Menyimak dan Merenungkan Al Qur’an dengan Akal

Ketahuilah bahwa akal adalah syarat agar seseorang bisa memahami sesuatu, sehingga membuat amalan menjadi baik dan sempurna. Oleh karena itu, akal yang baik saja yang bisa mendapatkan taklif (beban syari’at) sehingga orang gila yang tidak berakal tidak mendapat perintah shalat dan puasa. Seseorang yang tidak memiliki akal adalah keadaan yang serba penuh kekurangan. Setiap perkataan yang menyelisihi akal adalah perkataan yang batil. Oleh karena itu, Allah telah memerintahkan kita untuk memperhatikan dan merenungkan Al Qur’an dengan menggunakan akal semisal dalam beberapa ayat berikut ini,

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an?” (QS. An Nisa’: 82 dan Muhammad: 24)

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44)

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآَخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)

أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَدَارُ الْآَخِرَةِ خَيْرٌ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf: 109)

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” (QS. Al Qashash: 60)

Al Qur’an Menggunakan Dalil Akal (Logika)

Hal ini sebagaimana dapat kita lihat dalam permisalan-permisal an yang digunakan dalam Al Qur’an. Di antaranya firman Allah Ta’ala mengenai penetapan tauhid bahwa Dialah satu-satunya Pencipta,

هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ

Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah.” (QS. Luqman: 11). Lihatlah dalam ayat ini, Allah menggunakan qiyas atau analogi permisalan untuk menunjukkan adakah sesembahan selain Allah yang dapat mencipta.
Contoh lainnya adalah tentang ayat yang menunjukkan adanya hari berbangkit. Allah misalkan dengan menjelaskan bahwa Dia dapat menghidupkan tanah yang mati. Jika Allah mampu melakukan demikian, tentu Allah dapat pula membangkitkan makhluk-makhluk yang sudah mati. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ

Dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 11)

Urgensi Akal dalam Syari’at Islam

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.

[Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.

وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ

Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)

[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)

[Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.

[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, sepertila’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).

Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir) ,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Demikian pembahasan kami dalam seri pertama ini. Nantikan tulisan selanjutnya (seri terakhir).

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Taklid buta


fanatik butaFanatik terhadap kyai, ulama, atau ustadz memang telah mendarah daging dalam tubuh umat ini. Yang jadi masalah bukanlah sekedar mengikuti pendapat orang yang berilmu. Namun yang menjadi masalah adalah ketika pendapat para ulama tersebut jelas-jelas menyelisihi Al Qur’an dan As Sunnah tetapi dibela mati-matian. Yang penting kata mereka ‘ sami’na wa atho’na’ (apa yang dikatakan oleh kyai kami, tetap kami dengar dan kami taat). Entah pendapat kyai tersebut merupakan perbuatan syirik atau bid’ah, yang penting kami tetap patuh kepada guru-guru kami.

Fenomena Fanatik Buta

Fanatik -dalam bahasa Arab disebut ta’ashub- adalah sikap mengikuti seseorang tanpa mengetahui dalilnya, selalu menganggapnya benar, dan membelanya secara membabi buta. Fanatik terhadap kyai, ustadz, atau ulama bahkan kelompok tertentu telah terjadi sejak dahulu seperti yang terjadi di kalangan para pengikut madzhab (ada 4 madzhab yang terkenal yaitu Hanafi, Hanbali, Maliki, dan Syafi’i). Di mana para pengikut madzhab tersebut mengklaim bahwa kebenaran hanya pada pihak mereka sendiri, sedangkan kebathilan adalah pada pihak (madzhab) yang lain.
Banyak contoh yang dapat diambil dari para pengikut madzhab tersebut. Di antara contoh perkataan bathil di antara mereka adalah ucapan Abul Hasan Al Karkhiy Al Hanafi (seorang tokoh fanatik di kalangan Hanafiyyah). Beliau mengatakan, “
Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka harus diselewengkan maknanya atau dihapus hukumnya.

Syaikh Al Albani rahimahullah juga mengisahkan, bahwa ada seorang bermadzhab Hanafiyah mengharamkan pria dari kalangan mereka menikah dengan wanita bermadzhab Syafi’iyah, kecuali wanita tadi diposisikan sebagai wanita ahli kitab dianalogikan dengan wanita Yahudi dan Nasrani!! Hal ini masih terjadi hingga sekarang. Seperti ada seorang bermadzhab Hanafi dan dia begitu takjub dengan seorang khotib masjid Bani Umayyah di Damaskus, dia mengatakan, “Andaikan khotib tadi bukan bermadzhab Syafi’i, niscaya aku akan nikahkan dia dengan anak perempuanku!”

Imam Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala’ juga menceritakan, bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al Farra’ pernah menjadi imam sholat di masjid Abdullah selama 60 puluh tahun lamanya. Beliau bermadzhab Syafi’i dan melakukan qunut shubuh. Setelah itu imam sholat diambil alih oleh seseorang yang bermadzhab Maliki dan tidak melakukan qunut shubuh. Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat setempat, akhirnya mereka bubar meninggalkan imam yang tidak melakukan qunut shubuh ini, seraya berkomentar, “Sholat imam tersebut tidak becus !!!”.

Inilah contoh yang terjadi di kalangan pengikut madzhab. Begitu juga yang terjadi pada umat Islam sekarang ini, banyak sekali di antara mereka membela secara mati-matian pendapat dari ulama atau guru-guru mereka (seperti membela kesyirikan, kebid’ahan, atau perbuatan haram yang dilakukan guru-guru tersebut), padahal jelas-jelas bertentangan dengan ayat dan hadits yang shohih.

Mempertentangkan Perkataan Allah dan Rasul-Nya dengan Perkataan Kyai/Ulama

Banyak dari umat Islam saat ini, apabila dikatakan kepada mereka, “Alloh telah berfirman” atau kita sampaikan “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda …”, mereka malah menjawab, “Namun, kyai/ustadz kami berkata demikian …”. Apakah mereka belum pernah mendengar firman Allah (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya” (Al Hujurot : 1) [?] Yaitu janganlah kalian mendahulukan perkataan siapapun dari perkataan Alloh dan Rosul-Nya.
Dan perhatikan pula ayat selanjutnya dari surat ini. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al Hujurot : 2).

Ibnul Qoyyim rohimahulloh dalam I’lamul Muwaqi’in mengatakan,

“Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara Rasul saja dapat menyebabkan terhapusnya amalan mereka. Lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan pendapat, akal, perasaan, politik, dan pengetahuan di atas ajaran rasul [?] Bukankah ini lebih layak sebagai penghapus amalan mereka [?]“

Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhuma mengatakan,

“Hampir saja kalian akan dihujani hujan batu dari langit. Aku katakan, ‘Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakar dan Umar berkata demikian.’ “(Shohih. HR. Ahmad).

Dari perkataan ini, wajib bagi seorang muslim jika dia mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia paham maksudnya/penjelasannya dari ahli ilmu, tidaklah boleh bagi dia menolak hadits tersebut karena perkataan seorang pun. Tidak boleh dia menentangnya karena perkataan Abu Bakar dan Umar -radiyallahu ‘anhuma- (yang telah kita ketahui bersama kedudukan mereka berdua), atau sahabat Nabi yang lain, atau orang-orang di bawah mereka, apalagi dengan perkataan seorang kyai atau ustadz. Dan para ulama juga telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan penjelasan dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya meninggalkan hadits tersebut dikarenakan perkataan seorang pun, siapa pun dia. Dan perkataan seperti ini selaras dengan perkataan Imam Syafi’i -semoga Alloh merahmati beliau-. Beliau rahimahullah mengatakan,

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam, Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya Musa hadir di tengah kalian dan kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Sekiranya Musa hidup kembali dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku.” (Hasan, HR. Ad Darimi dan Ahmad).

Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang Nabi yang mulia yang pernah diajak bicara oleh Alloh, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapat saudara sekalian, apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan Nabi Musa ‘alaihis salaam??! Renungkanlah hal ini.

Dampak Fanatik Buta

Fanatik memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Berikut ini kami paparkan beberapa dampak yang terjadi karena fanatik buta.

[1] Memejamkan mata dari dalil yang kuat dan berpegang dengan dalil yang rapuh

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mayoritas orang-orang fanatik madzhab tidak mendalami Al Qur’an dan As Sunnah kecuali segilintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadit-hadits yang rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong.”

[2] Merubah dalil untuk membela pendapatnya

Contohnya adalah atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan beliau menshohihkannya. Dari Malik Al Asyja’i rodiyallohu ‘anhu berkata, “Saya pernah bertanya kepada ayahku,’Wahai ayahku! Sesungguhnya engkau pernah sholat di belakang Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini -di Kufah-. Apakah mereka melakukan qunut shubuh?’ Jawab beliau,’Wahai anakku, itu merupakan perkara muhdats (perkara baru yang diada-adakan dalam agama -pen)’ “.
Tetapi seorang tokoh bermadzhab Syafi’i di Mesir malah mengganti hadits tersebut dengan lafadz yang artinya, ‘Wahai anakku,
ceritakanlah (kata muhdats diganti dengan fahaddits yang berarti ceritakanlah-pen) [!]‘ Dan tokoh ini juga mengatakan, “Sholatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh secara sengaja, maka sholatnya batal yaitu tidak sah.”

Sungguh perbuatan tokoh ini dikarenakan sikap fanatik beliau pada madzhabnya yang mengakar kuat pada dirinya. Tetapi lihatlah perbedaan yang sangat menonjol dengan orang yang mengikuti kebenaran, walaupun madzhabnya sama dengan tokoh fanatik di atas. Beliau -Abul Hasan Al Kurjiy Asy Syafi’i- tidak pernah melakukan qunut shubuh dan beliau pernah berkata,”Tidak ada hadits shohih tentang hal itu (yaitu qunut shubuh,-pen).”

[3] Sering memalsukan hadits

Di antara hadits palsu hasil rekayasa orang-orang yang fanatik madzhab untuk membela madzhabnya, yaitu dari Ahmad bin Abdilllah bin Mi’dan dari Anas secara marfu’ : “Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (yakni Imam Syafi’i-pen), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku”.
Hadits ini selain palsu, juga bertentangan dengan nash yang menyatakan bahwa pelita umat ini adalah Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al Ahzab ayat 46.

[4] Menfatwakan bahwa taqlid hukumnya wajib

Para fanatisme madzhab atau kelompok akan menyerukan kepada pengikutnya tentang kewajiban taqlid yaitu mengambil pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.
Hal ini sebagaimana yang diwajibkan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Salah seorang tokoh organisasi tersebut mengatakan, “Sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian besar umat Islam di seluruh dunia yang termasuk dalam golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah membenarkan adanya kewajiban taqlid bagi orang yang tidak memenuhi syarat untuk berijtihad …”

Ini adalah ucapan yang bathil. Tidak pernah ada kewajiban seperti ini dari Alloh, Rosululloh, sampai-sampai imam madzhab sekalipun. Karena pendapat imam madzhab itu kadangkala benar dan kadangkala juga salah. Seringkali para imam madzhab berpegang pada suatu pendapat dan beliau meralat pendapatnya tersebut. Dan para imam itu sendiri melarang untuk taqlid kepadanya, sebagaimana Imam Syafi’i rohimahulloh (imam madzhab yang organisasi ini ikuti) mengatakan,

“Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shohih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi tersebut lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.

Janganlah Menolak Kebenaran

Sesungguhnya Allah telah mengutus para rosul untuk segenap manusia. Alloh mengutus para rasul untuk mendakwahi manusia agar mereka beribadah dan menyembah kepada Allah semata. Akan tetapi kebanyakan mereka mendustakan rosul-rosul utusan Alloh itu; mereka tolak kebenaran yang dibawanya, yaitu ketauhidan. Akhirnya mereka pun menemui kebinasaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun sebesar biji sawi.” Kemudian beliau melanjutkan hadits ini dengan berkata, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” (HR. Muslim)

Berdasarkan hadits di atas, tidak diperbolehkan bagi seorang mukmin menolak kebenaran atau nasehat yang disampaikan kepadanya. Karena jika demikian berarti mereka telah menyerupai orang-orang kafir dan telah menjerumuskan dirinya ke dalam sifat sombong yang bisa menghalanginya masuk surga. Maka, sikap hikmah (yaitu sikap menerima kebenaran dan tidak meremehkan siapapun yang menyampaikannya -pen) menjadi senjata yang ampuh bagi seorang mukmin yang selalu siap digunakan. Maka dari itu, kita wajib menerima kebenaran dari siapapun datangnya, bahkan dari setan sekalipun.

Ya Alloh, tunjukilah -dengan izin-Mu- bagi kami pada kebenaran dalam perkara yang kami perselisihkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.

[Disarikan oleh Abu Isma'il Muhammad Abduh Tuasikal dari Majalah Al Furqon ed.11/Th.II, At Tamhiid li Syarhi Kitaabit Tauhid-Syaikh Sholeh Alu Syaikh, al Firqotun Najiyah-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu]


image


“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Rabbmu". Mereka menjawab, "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan,"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (keesaan Rabb)". Atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah menyekutukan Ilah sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang yang sesat dahulu". (QS. 7:172-173)

Ayat di atas menjelaskan bahwa kebanyakan orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan disebabkan oleh dua hal dan secara otomatis dia telah melanggar perjanjian, ikrar dan persaksiannya sendiri terhadap keesaan Allah, dua hal tersebut adalah:

  • Jahil dan lalai terhadap tauhid dan syirik
  • Taqlid buta pada adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang.

Permasalahan syirik bukanlah perkara yang remeh, sebab kelurusan seseorang dalam bertauhid dan beraqidah menjadi jaminan bagi keselamatannya di dunia dan akhirat. Apabila tauhid seseorang melenceng dari standar Al-Qur'an dan As-sunnah, maka pasti dia terjerumus pada kesyirikan.

Karena itu kita harus mengerti dan paham apa sebenarnya syirik itu, agar kita bisa terhindar dari bahaya dan malapetakanya di dunia dan di akhirat. Para ulama mengatakan, "Aku mengenali kejelekan bukan untuk melakukannya, tetapi agar terhindar darinya. Barangsiapa yang tidak bisa membedakan antara kebaikan dengan kejelekan pasti terjerumus pada kejelekan itu." Untuk itu, marilah kita mengenali apa syirik itu sebenarnya.

Syirik adalah menyejajarkan/menyamakan makhluk dengan Al-Khaliq (Allah swt) dalam perkara-perkara yang merupakan hak khusus (istimewa) Allah swt.
Hak istimewa Allah Subhannahu wa Ta'ala banyak sekali, seperti: Disembah, mencipta, mengatur, memberikan manfaat dan mendatangkan madharat, menentukan baik dan buruk, membuat hukum dan undang-undang (syari'at) dan lain-lainnya.

Secara umum jenis syirik itu ada dua: Syirik Akbar (besar) dan Syirik Ashghar (kecil). Perbedaan antara syirik akbar dan syirik asghar adalah:

Syirik akbar;

  • Syirik akbar menghancurleburkan seluruh amal ibadah pelakunya.
  • Apabila dia meninggal dunia dalam keadaan berbuat syirik akbar maka tidak mendapat ampunan Allah Subhannahu wa Ta'ala.
  • Pelakunya tergolong murtad dari Islam.
  • Di akhirat kelak pelakunya akan kekal dalam neraka selama-lamanya.

Syirik Asghar (kecil);

  • Dosa syirik kecil tidak merusak seluruh amal ibadah.
  • Pelakunya diampuni apabila Allah Subhannahu wa Ta'ala menghendakinya.
  • Pelakunya tidak tergolong murtad dari Islam.
  • Di akhirat kelak pelakunya tidak akan kekal dalam neraka selama-lamanya.

Beberapa Fenomena Syirik

A. Ngalap (mencari) berkah di kuburan wali, kiyai dan selainnya.

Sudah menjadi hal yang umum dan membudaya di masyarakat, dan bahkan dianggap ibadah yang sangat afdhal bahwa pada hari-hari/bulan-bulan tertentu, misalnya Maulud (Rabiul awal), menjelang Ramadhan, menjelang lebaran (Syawwal) dan lain sebagainya, banyak orang yang mendatangi kuburan kuburan kyai, orang-orang yang dianggap wali, atau kuburan orang shalih. Mereka datang dari tempat yang cukup jauh dengan mencurahkan tenaga, waktu, pikiran, dan harta. Padahal Rasulullah telah bersabda,
“Janganlah kalian mengadakan perjalanan jauh (untuk beribadah, berziarah, mencari berkah) kecuali hanya ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawy), dan Masjid al-Aqsha.” (Muttafaqun 'Alaih)
Dengan melakukan ritual ziarah ke kuburan-kuburan wali/kiyai dari tempat yang jauh, maka itu sudah merupakan suatu pelanggaran terhadap konsekwensi hadits diatas.

Kalau ternyata tujuan dari ziarah kubur itu menyimpang dari tuntunan syari'at Islam yang suci ini, seperti: Mencari berkah, meminta-minta kepada penghuni kuburan itu, atau mencari syafa'at, maka perbuatan itu jelas merupakan syirik akbar. Apabila pelakunya tidak bertaubat hingga datang kematiannya, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala tidak mengampuninya dan dia kekal dalam neraka, semoga kita terhindar dari hal itu.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. 4:48)

B. Mencari kesaktian lewat amalan, dzikir atau ritual tertentu.

Fenomena ritual seperti ini sudah berurat dan berakar, bahkan menjadi trend dalam masyarakat kita. Dan yang terbelit dan terperangkap dalam lingkaran syetan ini mulai dari orang awam sampai para pejabat, rakyat jelata sampai orang berpangkat. Bahkan kalangan "terpelajar" yang mengaku "intelektual"pun menggandrungi klenik-klenik seperti ini. Mereka menyebutnya dengan "membekali diri dengan ngelmu (ilmu), kekebalan, kesaktian".
Untuk mengelabuhi orang-orang awam terkadang “orang pinter” itu menyandangkan titel mentereng seperti: KH (Kyai Haji), Prof, DR, padahal semua itu mereka lakukan untuk melanggengkan bisnis mereka sebagai agen-agen dan kaki tangan syetan dan jin.

Untuk meraih kesaktian ini, ada yang dengan cara-cara klasik kebatinan, dengan istilah black magic (ilmu hitam) maupun white magic (ilmu putih), dan ada pula dengan cara-cara ritual "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu", dan cara yang terakhir ini lebih banyak mengelabui kaum muslimin, karena seakan-akan caranya Islami dan tidak mengandung kesyirikan.

Dan perlu diketahui bahwa"dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" yang tidak ada syari'atnya dalam Islam, merupakan rumus dan kode etik untuk berhubungnan dengan alam supranatural (alam jin), hal seperti ini merupakan perangkap syetan yang menjerumuskan orang pada perbuatan syirik. Untuk mengetahui bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan syirik adalah sebagai berikut:

Pertama, bahwa "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" tersebut bukanlah syari'at Islam, karena tidak memakai standar Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah n, dan ini termasuk dalam kategori bid'ah, yang mana syetan lebih menyukai bid'ah daripada perbuatan maksiat sekalipun.

Ke dua, apabila tujuan seseorang melakukan "dzikir dan amalan-amalan wirid tertentu" tersebut untuk memperoleh kesaktian, kekebalan, dan hal-hal yang luar biasa, maka sudah pasti itu bukan karena Allah Subhannahu wa Ta'ala, seperti membaca Al-fatihah 1000 X, Al-ikhlas 1000 X dan lain sebagainya dengan tujuan agar kebal terhadap senjata tajam, peluru dan tahan bacok. Atau membaca salah satu shalawat bikinan (baca;bid'ah) dengan iming-iming kesaktian tertentu seperti bisa menghilang dari pandangan orang, bisa makan besi, kaca, beling dan lain sebagainya. Itu semua bukanlah karomah tetapi merupakan hakikat syirik itu sendiri, karena telah memalingkan tujuan suatu ibadah kepada selain Allah Subhannahu wa Ta'ala.

C. Meminta bantuan arwah rasul, wali, atau tokoh tertentu agar terhindar dari marabahaya.

Ritual-ritual seperti ini dapat kita saksikan pada acara-acara malam 1 Syuro(Muharram). Diantara mereka ada yang mengadakan acara ritual di pantai laut selatan, mereka ramai-ramai melepaskan bermacam-macam sesajen seperti hewan yang masih hidup, aneka makanan, bunga-bungaan dan kemenyan sambil memanggil-manggil arwah Nabi Muhammad, Syekh Abdul Qodir Jailani dan memanggil Nyi Roro Kidul. Tujuan mereka melakukan ini agar Nyi Roro Kidul yang "katanya" menjadi penguasa di pantai laut selatan itu tidak minta korban pada tahun ini.

D. Membuat sesajen untuk menolak roh jahat.

Kegiatan ritual syirik ini bisa kita temui ketika ada pembangunan jembatan, gedung atau rumah. Pada acara peletakan batu pertama, biasanya diadakan pemotongan hewan kemudian darahnya disiramkan atau dioleskan, dan kepala hewan itu ditanam di situ. Tujuannya agar bangunan itu kokoh, kuat, lancar dalam pembangunannya serta tidak meminta korban, terhindar dari bahaya, serta agar makhluk halus yang ada di situ tidak mengganggu. Ada juga yang meletakkan sesajen di atas tiang utama bangunan, agar terhindar dari gangguan makhluk halus yang berada di daerah itu.

Demikian pula, ketika orang merasa takut melewati pohon besar, kuburan, hutan atau lembah yang dianggap angker. Lalu dia mengirimkan berbagai macam bentuk sesajen. Kalau lewat di daerah itu harus minta izin terlebih dahulu, seperti mengucapkan "Mbah permisi saya mau lewat" sambil menundukkan badan pertanda tunduk, atau dengan membunyikan klakson kendaraan sambil menjalankannya dengan pelan-pelan, dan lain sebagainya.

E. Memakai Jimat-Jimat.

Ketika batu akik diyakini memiliki daya magic karena telah "diisi" oleh dukun atau orang pintar, maka menjadikan akik itu sebagai jimat pembawa keberuntungan berarti telah menjadikannya sebagai tuhan selain Allah.

Ketika bambu kuning atau potongan tulisan arab yang maknanya tidak jelas diletakkan di atas pintu rumah, agar"si kolor ijo"tidak bisa masuk rumah, maka berarti telah mempertuhankan jimat itu, dan ini adalah bantuk kesyirikan yang sangat nyata terhadap Allah SWT.

Demikian pula apabila al-Qur'an Stambul (Al-Qur'an berukuran sangat kecil yang tulisannya tidak bisa dibaca kecuali dengan mikroskop) dijadikan jimat untuk menolak marabahaya, maka pelakunyapun sudah terjerumus pada lingkaran syetan yaitu syirik.
Rasulullah SAW bersabda, artinya,
"Barangsiapa yang menggantungkan sesuatu (sebagai jimat), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada jimat itu". (HR.Imam Ahmad dan at-Tirmizi)

F. Ramal-Ramalan

Yaitu segala bentuk ramalan, mulai dari ramalan keadaan Indonesia sampai keadaan pribadi seseorang untuk rentang waktu sepekan, sebulan atau setahun ke depan, baik mengenai ekonominya, politiknya dan lain sebagainya. Ini semua adalah klenik-klenik yang menghancurkan negara besar ini yang katanya mayoritas muslim terbesar di dunia. Klenik ini juga yang menjadi faktor utama datangnya musibah-musibah yang silih berganti dan tidak akan pernah hengkang dari tanah air kita ini selama kemaksiatan syirik ini dan dosa-dosa besar lainnya masih gentayangan menghancurkan sendi-sendi kehidupan beragama kita. Wallahul Musta’an, hanya kepada Allah kita memohon pertolongan. Menziarahi kubur orang Islam itu disyari'atkan bahkan disunnahkan. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasalam menziarahi kuburan di Baqi' (kuburan kaum muslimin di Madinah), dan demikian pula kuburan para syuhada' perang Uhud. Nabi Nabi shallallahu 'alaihi wasalam berkata:

artinya:"Semoga keselamatan (dilimpakan) atas kalian wahai penghuni kubur dari orang-orang Mukmin dan Muslim, sedangkan kami insya Allah akan menyusul kalian, kami mohon kepada Allah (semoga) untuk kami dan kalian (diberi) afiat. " (Hadits dikeluarkan oleh Muslim 975 dari Buraidah).

Pada mulanya dulu Nabi shallallahu 'alaihi wasalam melarang ziarah kubur, kemudian beliau membolehkannya dengan sabdanya:

artinya: "Dahulu saya telah melarang kalian ziarah kubur, maka (kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhnya itu mengingatkan kematian." (HR Muslim 977, At-Tirmidzi 1054, At-Thayalisi 807, Ibnu Hibban 3168, Al-Hakim 12/375, Abu Daud 3235, dan Ahmad 5/359).

Dan dalam riwayat yang lain:
artinya:"...maka (kini) ziarahlah kalian padanya karena sesungguhnya (ziarah kubur) itu menzuhudkan (menjauhkan diri dari kecintaan) terhadap dunia dan mengingatkan akhirat." (HR Ibnu Majah dalam sunannya, nomor 1571).

Hadits-hadits tentang ziarah kubur itu diriwayatkan dalam kitab Shahihain —Al-Bukhari dan Muslim—, Sunan At-Tirmidzi dan lainnya. Kese-luruhan hadits-hadits tersebut ada di kitab Misykatul Mashabih 1/154.
Ziarah kubur itu ada dua macam: Syar'iyah (di-syari'atkan) dan syirkiyah (termasuk kemusyrikan).

Ziarah kubur yang Syar'iyah

Ziarah kubur yang disyari'atkan dalam Islam adalah berziarah ke kubur Muslimin, dan mengucapkan salam atas mereka, mendo'akan untuk mereka agar diberi ampunan dan maghfirah, sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits. Dan hendaklah kamu mengambil pelajaran (i'tibar) dengan keadaan mereka dahulunya bahwa mereka dulu begini dan begitu, mereka adalah nabi -nabi, wali-wali, orang-orang shalih, raja-raja, umara' (pemimpin pemerintahan) dan orang-orang kaya. Mereka telah mati, telah dipendam, telah menjadi tanah, dan mereka telah menjumpai apa yang telah mereka perbuat baik berupa kebaikan atau keburukan.
Jadi, ziarah kubur itu tidak untuk mengambil pelajaran dan menebalkan sikap meterialistis yang mementingkan kehidupan dunia ini. Karena kehidupan di dunia ini adalah tipuan dan tidak kekal, sedangkan kita semua akan mati dan akan dikubur. Maka sebaiknya kita tidak tertipu oleh gebyar dan kesenangan dunia. Inilah hakikat ziarah kubur yang syar'i itu.

Ziarah kubur yang syirkiyah

Adapun ziarah kubur yang syirkiyah atau menyekutukan Allah dan sangat dilarang dalam Islam adalah apabila peziarah menciumi kuburan, atau sujud di atasnya, atau mengusap-usapnya, atau memanggil-manggil penghuninya, atau minta pertolongan padanya (istighatsah dengan kubur), atau minta keselamatan (istinjad) padanya, atau bernadzar (misalnya kalau sukses usahanya maka akan mengadakan penyembelihan) untuk kubur, atau menyangka/ meyakini bahwa (mayit) yang dikubur itu bisa memberi manfaat atau mudharat padanya.
Ziarah kubur yang model ini adalah bertentangan dengan hikmah disyari'atkannya ziarah kubur itu sendiri. Bahkan itu adalah kenyataan yang dulunya diperbuat oleh ahli jahiliyah. Oleh karena itu dulu Nabi shallallahu 'alaihi wasalam melarang ziarah kubur.

Menjauhi syirik itu mutlak

Allah memerintahkan semua manusia agar memurnikan ibadahnya hanya untuk Allah, sedang Dia menciptakan seluruh manusia hanyalah untuk beribadah kepadaNya dengan ikhlas. Sebagaimana Allah firmankan, artinya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu." (Adz-Dzaariyaat/ 51:56).

Ketahuilah bahwa ibadah itu tidak sah kecuali bersama tauhid (mengesakan Allah ¥?). Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali beserta thaharah (suci) dan wudhu'. Maka apabila kemusyrikan masuk ke dalam ibadah pasti rusaklah ibadah itu, seperti halnya hadats apabila masuk ke dalam wudhu' maka rusaklah wudhu'nya.
Syirik itu jika mencampuri ibadah maka merusak ibadah , dan menghapus pahala ketaatan, hingga pelakunya termasuk penghuni neraka yang kekal di dalamnya.

Ketahuilah bahwa di antara hal-hal penting yang wajib diketahui adalah: mengetahui syirik. Siapa yang tidak tahu syirik boleh jadi dia terjatuh di dalam kemusyrikan, sedangkan dia tidak tahu! Allah Ta'ala berfirman, artinya: "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendakiNya." (QS An-Nisaa': 48, 116).
Dalam ayat tersebut Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia tidak mengampuni hamba yang mati dalam keadaan musyrik. Dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi hambaNya yang Ia kehendaki.

Ayat di atas menunjukkan bahwa syirik adalah sebesar-besar dosa. Karena Allah menjelaskan bahwa Dia tidak mengampuni dosa syirik bagi orang yang belum bertobat (sebelum kematiannya). Sedangkan dosa selain syirik maka ada di bawah kehendak Allah, jika Dia berkehendak, maka Dia akan mengampuni, dan jika Dia berkehendak, Dia akan menyiksanya karena dosanya itu. Dengan demikian wajib bagi setiap hamba untuk takut pada kemusyrikan yang merupakan dosa terbesar itu.

Wajib sama sekali atas setiap Muslim mengetahui dan menghindari syirik itu. Untuk mengetahuinya di antaranya hendaklah dibaca risalah Al-Ushuuluts Tsalaatsah (sudah diterjemahkan dengan penjelasannya, berjudul Penjelasan Kitab 3 Landasan Utama), dan Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad At-Tamimi (keduanya diterbitkan oleh Darul Haq).
Dalam buku itu disebutkan firman Allah, artinya: "Sesungguhnya barangsiapa menyekutukan Allah maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga dan tempatnya adalah neraka, dan tidak ada seorang pun penolong bagi orang-orang yang dhalim." (QS Al-Maidah: 72).

Nabi bersabda: "Dosa terbesar adalah engkau menjadikan tandingan (sekutu) bagi Allah sedangkan Dia lah yang menciptakanmu." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin menjeaskan firman Allah yang artinya: "Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukanNya dengan sesuatu pun." (An-Nisaa': 36).

Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar manusia beribadah kepadaNya serta melarang berbuat syirik. Dan ini mengandung pengertian bahwa penyembahan itu hanyalah milik Allah semata.
Barangsiapa tidak menyembah Allah maka dia kafir dan sombong.
Barangsiapa menyembah Allah tetapi juga menyembah selainNya, maka dia kafir dan musyrik.
Barangsiapa menyembah Allah saja, maka dia orang Muslim yang sesungguhnya.

Syirik ada dua macam: besar dan kecil.

Syirik besar yaitu menyekutukan Allah dengan selainNya yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Lebih jelasnya, syirik akbar (besar) yaitu menjadikan tandingan atau sekutu terhadap Allah dalam hal beribadah, berdoa, atau mengharapkan, atau takut, atau cinta, dalam memperlakukan tandingan itu seperti memperlakukannya kepada Allah. Atau memperlakukan tandingan itu dengan perlakuan jenis ibadah. Itulah syirik yang Allah haramkan atas pelakunya untuk masuk surga, sedang tempatnya adalah neraka.

Syirik kecil adalah setiap pekerjaan: ucapan atau tindakan yang dinyatakan oleh syara' bahwa termasuk perbuatan syirik, namun tidak menyebabkan pelakunya keluar dari agama Islam. Lebih jelasnya, syirik ashghar (kecil) adalah seluruh perkataan dan perbuatan yang menjadi perantara kepada syirik besar, seperti bersumpah dengan selain Allah, riya' , beramal tidak ikhlas karena Allah. Riya' yaitu menampak-nampakkan (pamer) kebaikan agar dipuji orang. Nabi n mengungkapkan kekhawa-tirannya terhadap sahabatnya akan adanya riya' pada mereka, karena riya' itu paling banyak dan disenangi oleh jiwa manusia dan paling mudah dilakukan. Kalau sahabat yang imannya sangat tebal saja diperingatkan dengan kekhawatiran Nabi n akan adanya syirik kecil (riya') itu pada mereka, maka umat Islam hendaknya lebih khawatir adanya syirik besar dan kecil karena lemahnya iman. Sedangkan berziarah kubur yang sampai memberlakukan kuburan sebagai jenis yang diibadahi dan dimintai tolong itu jelas satu jenis kemusyrikan. Maka apakah tidak pantas untuk dikhawatiri.

Syirik yang kecil (ashghar) pun sangat ditekankan untuk dihindari, apalagi syirik besar (akbar). Maka perbuatan yang menjurus kepada kemusyrikan wajib dihindari. Demikian pula ziarah kubur yang menjurus kepada kemusyrikan, wajib pula dihindari. Ketegasan Nabi SAW yang pernah melarang ziarah kubur itu kaitannya adalah dengan dosa yang paling besar yakni syirik. Selama seseorang belum bisa membersihkan dirinya dari kemusyrikan dalam hal ziarah kubur, maka larangan berziarah kubur tetap berlaku pada orang itu. Dan dia baru tidak dilarang bila memang sudah jelas ziarah kuburnya itu tanpa tercampuri kemusyrikan sedikitpun.

Kemusyrikan lainnya

Yang termasuk amalan munkar yang bernafaskan kesyirikan adalah bersumpah atas nama selain Allah seperti sumpah atas nama nabi shallallahu alaihi wasalam , atau manusia yang lain, yang berbau kesyirikan. Nabi shallallahu alaihi wasalam , bersabda:

"Barangsiapa bersumpah dengan nama sesuatu selain Allah, maka sungguh dia telah musyrik." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dari Umar bin Khathab radhiallahu anhu dengan sanad shahih).

Dan yang termasuk hal-hal haram berbau syirik yang kebanyakan manusia terjerumus di dalamnya adalah menggantungkan jimat dan kekebalan dari tulang atau kerang serta selainnya. Nabi shallallahu alaihi wasalam telah bersabda:

"Barangsiapa menggantungkan jimat, maka Allah tidak akan mengabulkan keinginannya, dan barangsiapa menggantungkan kerang (rumah siput), maka Allah tidak akan memberi ketenangan pada dirinya, dan barangsiapa menggantungkan jimat, sungguh telah berbuat syirik." (HR. Ahmad) .

"Sesungguhnya mantra, jimat, jampi-jampi (pelet) adalah syirik." (HR. Ahmad, Abu Dawud).


Hadits-hadits di atas mencakup kekebalan dan jimat dari Al-Qur'an dan selainnya, karena Rasul shallallahu alaihi wasalam tidak mengecualikan sedikitpun, sedangkan meng-gantungkan sesuatu dari Al-Qur'an adalah perantara terjadinya penggantungan selain Al-Qur'an.

Maka sudah seharusnya hal itu dicegah dalam rangka mencegah jalan menuju syirik, merealisasikan tauhid serta melaksanakan keumuman hadits di atas.