Segala puji bagi Allah yang telah mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya diatas segenap agama, dan cukuplah Allah sebagai saksi.

Semoga shalawat serta salam atas Nabi kita Muhammad, pengemban ajaran yang bersih dan murni, demikian juga atas keluarga, para sahabat dan pengikutnya, serta siapa saja yang meneladani dan berpedoman pada ajaran beliau sampai hari kiamat nanti. Amma ba’du.

Di dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan kita agar menetapi jalan petunjuk yang lurus dengan firman-Nya.

“Artinya : Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalaj jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa” [Al-An’am : 153]

Allah melarang kita menyelisihi ajaran Nabi-Nya dengan firmanNya.

“Artinya : Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [An-Nur : 63]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita melalui sabdanya.

“Artinya : Sungguh, siapa saja diantara kalian yang hidup setelahku, pasti akan menjumpai perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa ar-Rasyidin yang telah diberi petunjuk sepeninggalku” [HR Tirmidzi dan Abu Dawud, shahih]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari jalur Aisyah bahwa siapa saja yang mencari-cari perkataan (dalil) yang samar, pasti dia akan tergelincir, yaitu ketika beliau bersabda.

“Artinya : Jika kalian, melihat orang-orang yang mencari-cari dalil-dalil yang samar, maka merekalah orang-orang telah disebut oleh Allah, sehingga hendaklah kalian berhati-hati dari mereka”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan dengan keras dari ulama yang mengajak kepada kesesatan dalam sabdanya.

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dari manusia sekaligus, akan tetapi Allah mencabut ilmu (agama) dengan cara mewafatkan para ulama, sampai tidak tersisa seorang ulama-pun, sehingga manusia akan mengangkat para pemimpin yang bodoh (dalam ilmu agama). Ketika para pemimpin yang bodoh tersebut ditanya, maka mereka akan berfatwa tanpa dasar ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan”.

Pada lafadz Bukhari :

“ Maka mereka berfatwa sesuai dengan akal pikiran mereka”

Betapa banyak orang-orang seperti ini di zaman kita, suatu zaman yang segala urusan di dalamnya bercampur aduk serta samar-samar bagi orang yang ilmunya sedikit, sehingga mereka mengikuti hawa nafsu mayoritas manusia, baik dalam kebenaran maupun kebatilan, kemudian takut mengungkapkan kebenaran, karena menyelisihi pendapat masyarakat umum dan mereka lebih memilih mayoritas manusia, terlebih lagi di zaman yang kacau dan serba global ini, komunikasi begitu mudah dan cepat, maka muncullah slogan-slogan heboh : demokrasi, liberal, hak-hak wanita, hak azasi manusia (HAM), persamaan gender dan yang semisalnya.

Ini semua diterima oleh orang-orang yang hatinya menyimpang atau yang telah dididik oleh barat, kemudian di tulis di koran-koran dan disebarkan melalui media masa, gaungnya begitu kuat, sehingga disangka oleh masyarakat, bahwa itu semua merupakan suatu kebenaran, padahal ini merupakan kebatilan yang paling buruk.

Di antara slogan bodoh muncul adalah demonstrasi, pencetusnya adalah orang-orang kafir, mereka roang-orang yang tidak menghiraukan dalil dan tidak menggunakan akal. Kemudian penyakit ini berpindah ke negeri-negeri kaum muslimin melalui didikan barat.

Kita mengetahui bahwa api fitnah, bid’ah dan slogan menyialaukan muncul di saat jumlah para ulama sedikit, dan akan padam kobarannya ketika para ulama masih banyak.

Sungguh Allah telah menjaga negeri Al-Haramain (Mekkah dan Madinah) dari berbagai fitnah dan kejahatan yang besar serta bid’ah, berkat anugrah Allah, kemudian karena adanya kumpulan para ulama rabbaniyyin yang tidak takut celaan manusia ketika membela agama Allah, setiap kali tanduk bid’ah muncul, maka mereka segera menumpasnya, begitupula setiap kali leher ahlul bid’ah terangkat, maka mereka segera menundukkannya dengan ilmu syari’at, penjelasan ilahi, sunnah Nabi dan atsar para Salaf.

Sama sekali, saya tidak menyangka akan muncul generasi Al-Haramain yang mengajak kepada slogan jahiliyyah ini, sampai akhirnya benar-benar muncul. Dan kita yakin, bahwa mereka terpengaruh oleh orang-orang luar, atau mereka berfatwa tanpa dasar ilmu. Maka ada yang bertanya : Apa hukum demonstrasi- demonstrasi ini ?

Jawab.
Demonstrasi adalah bid’ah ditinjau dari berbagai sudut pandang.

Pertama.
Demonstrasi ini digunakan untuk menolong agama Allah, dan meninggikan derajat kaum muslimin, lebih-lebih di negeri-negeri Islam.

Dengan demikian, menurut pelakunya, demonstrasi merupakan ibadah, bagian dari jihad. Sedangkan kita telah memahami, bahwa hukum asal ibadah adalah terlarang, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya.

Dari sudut pandang ini, demonstrasi merupakan bid’ah dan perkara yang diada-adakan di dalam agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Siapa saja yang membuat ajaran baru dalam agama ini dan bukan termasuk bagian darinya maka akan tertolak” [HR Muttafaqun Alaih]

Diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari secara mu’allaq.

“Artinya : Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka amalan tersebut tertolak”.

Kedua.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena fitnah dan ujian para sahabat sepeninggal beliau juga demikian, seperti peperangan dengan orang-orang murtad, tidak ketinggalan pula umat beliau selama berabad-abad juga diuji. Akan tetapi mereka semua tidak demonstrasi. Jika demonstrasi itu baik, tentunya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.

Ketiga
Sebagian orang menisbatkan demonstrasi kepada Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, dan ini sama sekali tidak benar, karena keshahihan riwayatnya tidak diakui oleh para ulama. Maka penisbatan demonstrasi kepada Umar merupakan kedustaan atas nama beliau sang pembeda (Al-Faruq) Radhiyallahu ‘anhu yang masuk Islam terang-terangan dan berhijrah di siang bolong.

Keempat
Di dalam demonstrasi ada tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka” [HR Abu Dawud dengan sanad yang hasan]

Hal ini dikarenakan demonstrasi tidak dikenal dalam sejarah kaum muslimin kecuali setelah mereka bercampur baur dengan orang-orang kafir.

Kelima
Demonstrasi secara umum tidak akan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan tidak akan bisa digunakan untuk mengugurkan kebatilan. Terbukti, seluruh dunia demonstrasi untuk menghentikan kebengisan Yahudi di Palestina, apakah kebiadaban Yahudi berhenti? Atau apakah kejahatan mereka semakim menjadi-jadi karena melihat permohonan tolong orang-orang lemah ?!!

Jika ada orang yang mengatakan : Demonstrasi merupakan perwujudan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Maka kita katakan : Kemungkaran tidak boleh diingkari dengan kemungkaran yang semisalnya. Karena kemungkaran tidak akan diingkari kecuali oleh orang yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, sehingga dia akan mengingkari kemungkaran tersebut atas dasar ilmu dan pengetahuan. Tidak mungkin kemungkaran bisa diingkari dengan cara seperti ini.

Keenam.
Termasuk misi rahasia sekaligus segi negative demonstrasi adalah, bahwa demonstrasi merupakan alat dan penyebab habisnya semangat rakyat, karena ketika mereka keluar, berteriak-teriak dan berkeliling di jalanan, maka mereka kembali ke rumah-rumah mereka dengan semangat yang telah sirna serta kecapaian yang luar biasa.

Padahal, yang wajib bagi mereka adalah menggunakan semangat tersebut untuk taat kepada Allah, mempelajari ilmu yang bermanfaat, berdo’a dan mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh, sebagai bentuk pengamalan firman Allah.

“Artinya : Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya ; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” [Al-Anfaal : 60]

Ketujuh
Di dalam demonstrasi tersimpan kemungkaran yang begitu banyak, seperti keluarnya wanita (ikut serta demonstrasi, padahal seharusnya dilindungi di dalam rumah, bukan dijadikan umpan,-pent) , demikian juga anak-anak kecil, serta adanya ikhtilath, bersentuhannya kulit dengan kulit, berdua-duan antara laki-laki dan perempuan, ditambah lagi hiasan berupa celaan, umpatan keji, omongan yang tidak beradab ? Ini semua menunjukkan keharaman demonstrasi.

Kedelapan
Islam memberikan prinsip, bahwa segala sesuatu yang kerusakannya lebih banyak dari kebaikannya, maka dihukumi haram.

Mungkin saja demonstrasi berdampak pada turunnya harga barang-barang dagangan, akan tetapi kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya, lebih-lebih jika berkedok agama dan membela tempat-tempat suci.

Kesembilan
Demonstrasi, terkandung di dalamnya kemurkaan Allah dan juga merupakan protes terhadap takdir, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka. Jika mereka ridho, maka mereka akan diridhoi oleh Allah. Jika mereka marah, maka Allah juga marah kepada mereka”.

Sebelum perang Badr Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighatsah (memohon pertolongan di waktu genting,-pent) kepada Allah.

“Artinya : (Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan- Nya bagimu :Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut” [Al-Anfaal : 9]

Beliau juga merendahkan diri kepadaNya sampai selendang beliau terjatuh, Beliau memerintahkan para sahabat untuk bersabar menghadapi siksaan kaum musyrikin. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sama sekali tidak pernah mengajak demonstrasi padahal keamanan mereka digoncang, mereka disiksa dan didzalimi. Maka, demonstrasi bertentangan dengan ajaran kesabaran yang diperintahkan oleh Allah ketika menghadapi kedzaliman para penguasa, dan ketika terjadi tragedi dan musibah.

Kesepuluh
Demonstrasi merupakan kunci yang akan menyeret pelakunya untuk memberontak terhadap para penguasa, padahal kita dilarang melakukan pemberontakan dengan cara tidak membangkang kepada mereka.

Betapa banyak demonstrasi yang mengantarkan suatu negara dalam kehancuran, sehingga timbullah pertumpahan darah, perampasan kehormatan dan harta benda serta tersebarlah kerusakan yang begitu luas.

Kesebelas.
Demonstasi menjadikan orang-orang dungu, wanita dan orang-orang yang tidak berkompeten bisa berpendapat, sehingga mungkin tuntutan mereka dipenuhi meskipun merugikan mayoritas masyarakat, sehingga dalam perkara yang besar dan berdampak luas orang-orang yang bukan ahlinya ikut berbicara.

Bahkan orang-orang dungu, jahat dan kaum wanita merekalah yang banyak mengobarkan demonstrasi, dan mereka yang mengontak dan memprovokasi massa (!)

Kedua belas.
Para pengobar demonstrasi senang terhadap siapa saja yang berdemo dengan mereka, walaupun dia seorang pencela sahabat Nabi, tukang ngalap berkah dari kuburan-kuburan bahkan sampaipun orang-orang musyrik, sehingga akan anda dapati seorang yang berdemo dengan mengangkat Al-Qur’an, disampingnya mengangkat salib (Nasrani), yang lain membawa bintang Dawud (Yahudi), dengan demikian maka demonstrasi merupakan lahan bagi setiap orang yang menyimpang, kafir dan ahli bid’ah.

Ketiga belas
Hakikat para demonstran adalah orang-orang yang hidup di dunia menebarkan kerusakan, mereka membunuh, merampas, membakar, mendzalimi jiwa dan harta benda. Sampai-sampai ada seorang pencuri menyatakan : Sesungguhnya kami gembira jika banyak demonstrasi, karena hasil curian dan rampasan menjadi banyak bersamaan dengan berjalannya para demonstran (!).

Kempat belas
Para pendemo hakekatnya, mengantarkan jiwa mereka menuju pembunuhan dan siksaan, berdasarkan firmanNya.

“Artinya : Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” [An-Nisaa : 29]

Karena pasti akan terjadi bentrokan antara para demosntran dan petugas keamanan, sehingga mereka akan disakiti dan dihina, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Artinya : Seorang mukmin tidak boleh menghinakan dirinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimana seorang mukmin menghinakan dirinya ? Beliau menjelaskan : (yakni) dia menanggung bencana diluar batas kemampuannya” [HR Turmudzi, hasan]

Sebagai penutup, saya memohon kepada Allah agar menampakkan kepada kita, yang benar itu benar, dan memudahkan kita untuk mengikutinya. Demikian juga, semoga Allah melindungi kita dari fitnah yang nampak maupun yang tersembunyi, serta mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua dan para ulama kita. Tidak lupa pula semoga Allah memberikan taufiqNya kepada para penguasa muslim agar mereka memberikan yang terbaik bagi negeri dan rakyat mereka, dan lebih dari itu semoga Allah menolong para penguasa muslim tersebut untuk berhukum dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi-Nya. Amin. Semoga Allah memberikan shalawat dan salamNya kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya.

[Majalah Al-Asholah edisi-38 halaman 76-80. Diterjemahkan Imam Wahyudi Lc]

[Disalin dari majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyyah Vol 5 No. 5 Edisi 29-Rabiuts Tsani 1428H, Penerbit Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya. Jl.Sidotopo Kidul No. 51 Surabaya]


بسم الله الرحمن الرحيم

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita kepadaku tentang kisah masuknya seorang dokter Amerika ke dalam Islam. Dari apa yang kuingat dari kisah yang indah ini adalah : Kisah ini terjadi pada salah satu rumah sakit di Amerika Serikat.

Di rumah sakit tersebut, seorang dokter muslim bekerja dengan keilmuan yang sangat baik, sehingga memberi pengaruh besar untuk mengenal beberapa dokter Amerika. Dan dia, dengan kemampuan tersebut mengundang decak kagum mereka. Diantara para dokter Amerika ini, dia mempunyai satu teman akrab yaitu orang yang memiliki kisah ini. Mereka berdua selalu bertemu dan keduanya bekerja pada bagian persalinan.

Pada suatu malam, di rumah sakit tersebut terjadi dua peristiwa persalinan secara bersamaan. Setelah kedua wanita itu melahirkan, dua bayi tersebut tercampur dan tidak ada yang mengetahui masing-masing pemilik kedua bayi yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan itu. Kerancuan ini terjadi disebabkan kecerobohan perawat yang seharusnya dia menulis nama ibu pada gelang yang diletakkan di tangan kedua bayi tersebut. Dan ketika kedua dokter tersebut tahu bahwa mereka berada dalam kebingungan; Siapakah ibu bayi laki-laki dan siapakah ibu bayi perempuan, maka dokter Amerika berkata kepada dokter Muslim,

”Engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur’an telah menjelaskan segala sesuatu dan engkau mengatakan bahwasanya Al-Qur’an itu mencakup semua permasalahan-permasalahan apapun. Maka tunjukkanlah kepadaku cara mengetahui siapa ibu dari masing-masing bayi ini..!!”

Dokter Muslim itupun menjawab,

”Ya, Al-Qur’an telah menerangkan segala sesuatu dan akan aku buktikan kepadamu tentang hal itu. Biarkan kami mendiagnosa ASI kedua ibu dan kami akan menemukan jalan keluar.”

Setelah nampak hasil diagnosa, dengan sangat percaya diri dokter muslim itu memberitahu temannya si dokter Amerika, siapakah ibu sebenarnya dari masing-masing bayi tersebut…!!!! Dokter Amerika itupun terheran-heran dan bertanya, ”Bagaimana kamu tahu?”

Dokter Muslim menajwab

”Sesungguhnya hasil yang nampak menunjukkan bahwasanya kadar banyaknya ASI pada payudara ibu si bayi laki-laki dua kali lipat kandungannya dibanding ibu si bayi perempuan. Perbandingan kadar garam dan vitamin pada ASI si ibu bayi laki-laki itu juga dua kali lipat dibanding ibu si bayi perempuan.”

Kemudian dokter muslim tersebut membacakan ayat Al-Qur’an yang dia jadikan dasar argumen dari jalan keluar itu,

”Bagi laki-laki seperti bagian dua perempuan.” (QS. An-Nisa:11)

Dan setelah mendengarkan dokter Amerika itu arti ayat tersebut, dia jadi bengong, dan dia menyatakan keislamannya secara spontan tanpa ragu-ragu. Subhanallah, Maha Suci Allah Robb semesta alam.


Diambil dari : Kolom Kisah Teladan, Majalah Qiblati Desember 2005 | Dzulqa’idah 1426 H.

Negeri Bukhara sebagai negeri muara sungai Jihun yang terletak di sebelah utara Afghanistan dan sebelah selatan Ukraina adalah negeri yang banyak melahirkan imam-imam Ahlul hadits dan Ahlul fiqh. Negeri itu menyimpan kenangan sejarah perjuangan para imam-imam Muslimin dalam berbagai bidang ilmu-ilmu Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dapat disebutkan di sini, para Imam Ahlul Hadits yang lahir dan dibesarkan di negeri Bukhara antara lain adalah: Al-Imam Abdullah bin Muhammad Abu Ja'far Al-Musnadi Al-Bukhari yang meninggal dunia di negeri tersebut pada hari Kamis bulan Dzulqa'dah tahun 220 H. dan kemudian juga lahir di Bukhara, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Al-Bukhari yang lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada tahun 256 H di sebuah desa bernama Khortanak menuju arah Samarkan. Juga lahir dan dibesarkan di negeri ini Al-Imam Abi Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Kalabadzi Al-Bukhari yang lahir tahun 323 H dan meninggal tahun 398 H. dan masih banyak lagi deretan para imam-imam besar Ahli hadits yang menghiasi indahnya sekarah negeri Bukhara.
Tetapi di masa kini kaum Muslimin di dunia, apabila disebut Imam Bukhari, maka yang dipahami hanyalah Imam Ahlul Hadits dari negeri Bukhara yang bernama Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah Al-Bukhari. Karena karya beliau yang amat masyhur di kalangan kaum Muslimin di dunia ialah: Al-Jami'us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kata "Bukhari" itu sendiri maknanya ialah: Orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan "Imam Bukhari" maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
AL-BUKHARI DI MASA KECIL
Nasab kelengkapan dari tokoh yang sedang kita bincangkan ini adalah sebagai berikut: Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah. Kakek (Zoroaster) sebagai agama asli orang-orang Persia yang menyembah api. Sang kakek tersebut meninggal dalam keadaan masih beragama Majusi. Putra dari Bardizbah yang bernama Al-Mughirah kemudian masuk Islam di bawah bimbingan gubernur negeri Bukhara Yaman Al-Ju'fi sehingga Al-Mughirah dengan segenap anak cucunya dinisbatkan kepada kabilah Al-Ju'fi. Dan ternyata cucu dari Al-Mughirah ini di kemudian hari mengukir sejarah yang agung, yaitu sebagai seorang Imam Ahlul Hadits.
Al-Imam Al-Bukhari lahir pada hari Jum'at tanggal 13 Syawal 194 H di negeri Bukhara di tengah keluarganya yang cinta ilmu sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Karena ayah beliau bernama Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah adalah seorang ulama Ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Iraq.
Ayah Al-Bukhari meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Di saat menjelang wafatnya, Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari menyatakan kepadanya: "Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat." Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak wafatnya sang ayah, Al-Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang ibunya.
Muhammad bin Ismail mendapat perhatian penuh dari ibunya. Sejak usianya yang masih muda dia telah hafal Al-Qur'an dan tentunya belajar membaca dan menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Muhammad kecil mulai bersemangat mendatangi majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri Bukhara. Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad). Usia kanak-kanak beliau dihabiskan dalam kegiatan menghafal ilmu dan memahaminya sehingga ketika menginjak usia remaja --enam belas tahun--, beliau telah hafal kitab-kitab karya imam-imam Ahli hadits dari kalangan tabi'it tabi'in (generasi ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Al-Mubarak, Waqi' bin Al-Jarrah, dan memahami betul kitab-kitab tersebut.
Usia kanak-kanak Muhammad bin Ismail telah berlalu dengan agenda belajar yang amat padat. Kesibukannya di masa kanak-kanak dalam menghafal dan memahami ilmu, mengantarkannya kepada masa remaja yang cemerlang dan menakjubkan. Kini ia menjadi remaja yang amat diperhitungkan orang di majelis manapun dia hadir. Karena dalam usia belasan tahun seperti ini dia telah hafal di luar kepala tujupuluh ribu hadits lengkap dengan sanadnya di samping tentunya Al-Qur'an tiga puluh juz.
MELANGLANG BUANA MENUNTUT ILMU
Di awal usianya yang ke delapan belas, Al-Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya bernama Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Perjalanan jauh antara negeri Bukhara dengan Mekkah menunggang unta, keledai dan kuda adalah pengalaman baru baginya. Sehingga dia terbiasa dengan berbagai kesengsaraan perjalanan jauh mengarungi padang pasir, gunung-gunung dan lembahnya yang penuh keganasan alam. Dalam kondisi yang demikian, dia merasa semakin dekat kepada Allah dan dia benar-benar menikmati perjalanan yang memakan waktu berbulan-bulan itu. Sesampainya di Makkah, Al-Bukhari mendapati kota Makkah penuh dengan ulama Ahli Hadits yang membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu yang demikian ini semakin menggembirakan beliau. Oleh karena itu, setelah selsai pelaksanaan ibadah haji, beliau tetap tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama ibunya. Beliau bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya beliau dalam bidang ilmu hadits yang berjudul Kitabut Tarikh. Ketika kitab karya beliau ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, ramailah pembicaraan orang tentang tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat mengaguminya. Sampai-sampai seorang Imam Ahli Hadits di masa itu yang bernama Ishaq bin Rahuyah membawa Kitabut Tarikh karya Al-Bukhari ini ke hadapan gubernur negeri Khurasan yang bernama Abdullah bin Thahir Al-Khuza'i, sembari mengatakan: "Wahai tuan gubernur, maukah aku tunjukkan kepadamu atraksi sihir?" Kemudian ditunjukkan kepadanya kitab ini. Maka gubernur pun membaca kitab tersebut dan beliau sangat kagum dengannya. Sehingga tuan gubernur pun mengatakan: "Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa mengarang kitab ini." Al-Imam Al-Bukhari pun akhirnya menjadi amat terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika Al-Imam Al-Bukhari berkeliling ke berbagai negeri tersebut, beliau mendapati betapa para ulama Ahlul Hadits di setiap negeri tersebut sangat menghormatinya. Beliau berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir, Syam, Baghdad (Iraq), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, beliau suatu hari duduk di majlisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini mulailah Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam tempo enam belas tahun sesudah itu. Beliau menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakini shahih oleh beliau setelah menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Beliau pilih daripadanya tujuh ribu dua ratus tujupuluh lima hadits shahih dan seluruhnya dikumpulkan dalam satu kitab dengan judul Al-Jami'us Shahih Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunani wa Ayyamihi yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari. Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohan beliau dalam ilmu hadits semakin diakui kalangan luas dunia Islam. Para imam-imam Ahli Hadits sangat memuliakannya, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
IMAM AL-BUKHARI DISANJUNG DI MANA-MANA
Karya-karya beliau dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia Islam. Kepiawaian beliau dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kepelikan di seputar ilmu hadits di berbagai majelis-majelis ilmu bersinar cemerlang sehingga beliau dipuji dan diakui keilmuannya oleh para gurunya dan para ulama yang setara ilmunya dengan beliau, lebih-lebih lagi oleh para muridnya. Beliau menimba ilmu dari seribu lebih ulama dan semua mereka selalu mempunyai kesan yang baik, bahkan kagum terhadap beliau.
Al-Imam Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf bin Al-Mizzi meriwayatkan dalam kitabnya yang berjudul Tahdzibul Kamal fi Asma'ir Rijal beberapa riwayat pujian para ulama Ahli hadits dan sanjungan mereka terhadap Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Di antara beberapa riwayat itu antara lain ialah pernyataan Al-Imam Mahmud bin An-Nadhir Abu Sahl Asy-Syafi'i yang menyatakan: "Aku masuk ke berbagai negeri yaitu Basrah, Syam, Hijaz dan Kufah. Aku melihat di berbagai negeri tersebut bahwa para ulamanya bila menyebutkan Muhammad bin Ismail Al-Bukhari selalu mereka lebih mengutamakannya daripada diri-diri mereka."
Karena itu majelis-majelis ilmu Al-Imam Al-Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut ilmu. Dan bila beliau memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum kedatangan beliau, telah tersebar berita akan datangnya Imam Ahlul Hadits, sehingga kaum Muslimin pun berjejal-jejal berdiri di pinggir jalan yang akan dilewati beliau hanya untuk sekedar melihat wajah beliau atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman dengan beliau.
Al-Imam Muhammad bin Abi Hatim meriwayatkan bahwa Hasyid bin Ismail dan seorang lagi (tidak disebutkan namanya), keduanya menceritakan: "Para ulama Ahli Hadits di Bashrah di jaman Al-Bukhari masih hidup merasa lebih rendah pengetahuannya dalam hadits dibanding Al-Imam Al-Bukhari. Padahal beliau ini masih muda belia. Sehingga pernah ketika beliau berjalan di kota Bashrah, beliau dikerumuni para penuntut ilmu. Akhirnya beliau dipaksa duduk di pinggir jalan dan dikerumuni ribuan orang yang menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama. Padahal wajah beliau masih belum tumbuh rambut pada dagunya dan juga belum tumbuh kumis."
DATANGLAH BADAI MENGHEMPAS
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dielu-elukan dan disanjung orang di mana-mana. Pujian penuh ketakjuban datang dari segala penjuru negeri, dan beliau dijadikan rujukan para ulama di masa muda belia. Di saat penuh kesibukan ibadah dan ilmu yang menghiasi detik-detik kehidupan Al-Bukhari, pada sebagian orang muncul iri dengki terhadap berbagai kemuliaan yang Allah limpahkan kepadanya.
Badai itu bermula dari kedatangan beliau pada suatu hari di negeri Naisabur dalam rangka menimba ilmu dari para imam-imam Ahli Hadits di sana. Kedatangan beliau ke negeri tersebut bukanlah untuk pertama kalinya. Beliau sebelumnya sudah berkali-kali berkunjung ke sana karena Nasaibur termasuk salah satu pusat markas ilmu sunnah. Lagi pula di sana terdapat guru beliau, seorang Ahli Hadits yang bernama Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Pada suatu hari tersebarlah berita gembira di Naisabur bahwa Muhammad bin Ismail Al-Bukhari akan datang ke negeri tersebut untuk tinggal padanya beberapa lama. Bahkan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli mengumumkan secara khusus di majelis ilmunya dengan menyatakan: "Barangsiapa ingin menyambut Muhammad bin Ismail besok, silakan menyambutnya karena aku akan menyambutnya. " Maka masyarakat luas pun bergerak mengadakan persiapan untuk menyambut kedatangan Imam besar Ahli Hadits di kota mereka.
Di hari kedatangan Imam Al-Bukhari itu, ribuan penduduk Naisabur bergerombol di pinggir kota untuk menyambutnya. Di antara yang berkerumun menunggu kedatangan beliau itu ialah Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli bersama para ulama lainnya. Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya'qub Al-Akhram bahwa ketika Al-Bukhari sampai di pintu kota Naisabur, yang menyambutnya sebanyak empat ribu orang berkuda, di samping yang menunggang keledai dan himar serta ribuan pula yang berjalan kaki."
Imam Muslim bin Al-Hajjaj menceritakan: "Ketika Muhammad bin Ismail datang ke Naisabur, semua pejabat pemerintah dan semua ulama menyambutnya di batas negeri."
Ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sampai di Naisabur, para penduduk menyambutnya dengan penyambutan yang demikian besar dan agung. Beribu-ribu orang berkerumun di tempat tinggal beliau setiap harinya untuk menanyakan kepada beliau berbagai masalah agama dan khususnya berbagai kepelikan tentang hadits. Akibatnya berbagai majelis ilmu para ulama yang lainnya menjadi sepi pengunjung. Dari sebab ini mungkin timbul ketidakenakan di hati sebagian ulama itu terhadap Al-Bukhari.
Di hari ketiga kunjungan beliau ke Naisabur, terjadilah peristiwa yang amat disesalkan itu. Diceritakan oleh Ahmad bin Adi peristiwa itu terjadi sebagai berikut:
Telah menceritakan kepadaku sekelompok ulama bahwa ketika Muhammad bin Ismail sampai ke negeri Naisabur dan orang-orang pun berkumpul mengerumuninya, maka timbullah kedengkian padanya dari sebagian ulama yang ada pada waktu itu. Sehingga mulailah diberitakan kepada para ulama Ahli hadits bahwa Muhammad bin Ismail berpendapat bahwa lafadh beliau ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk. Pada suatu majelis ilmu, ada seseorang berdiri dan bertanya kepada beliau: "Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), apa pendapatmu tentang orang yang menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk? Apakah memang demikian atau lafadh orang yang membaca Al-Qur'an itu bukan makhluk?"
Mendengar pertanyaan itu, beliau berpaling karena tidak mau menjawabnya. Akan tetapi si penanya mengulang-ulang terus pertanyaannya hingga sampai ketiga kalinya seraya memohon dengan sangat agar beliau menjawabnya. Al-Bukhari pun akhirnya menjawab dengan mengatakan: "Al-Qur'an kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk. Sedangkan perbuatan hamba Allah adalah makhluk, dan menguji orang dalam masalah ini adalah perbuatan bid'ah."
Dengan jawaban beliau ini, si penanya membikin ricuh di majelis dan mengatakan tentang Al-Bukhari: "Dia telah menyatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk." Akibatnya orang-orang di majelis itu menjadi ricuh dan mereka pun segera membubarkan diri dari majelis itu dan meninggalkan beliau sendirian. Sejak itu Al-Bukhari duduk di tempat tinggalnya dan orang-orang pun tidak lagi mau datang kepada beliau."
Al-Khatib Al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad bin Ghalib dengan sanadnya dari Muhammad bin Khasynam menceritakan: "Setelah orang meninggalkan Al-Bukhari, orang-orang yang meninggalkan beliau itu sempat datang kepada beliau dan mengatakan: "Engkau mencabut pernyataanmu agar kami kembali belajar di majelismu." Beliau menjawab: "saya tidak akan mencabut pernyataan saya kecuali bila mereka yang meninggalkanku menunjukkan hujjah (argumentasi) yang lebih kuat dari hujjahku."
Kata Muhammad bin Khasynam: "Sungguh aku amat kagum dengan tegarnya dan kokohnya Al-Bukhari dalam berpegang dengan pendirian."
Kaum Muslimin di Naisabur gempar dengan kejadian ini dan akhirnya arus fitnah melibatkan pula Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli sehingga beliau menyatakan di majelis ilmu beliau yang kini telah ramai kembali setelah orang meninggalkan majelis Al-Bukhari: "Ketahuilah, sesungguhnya siapa saja yang masih mendatangi majelis Al-Bukhari, dilarang datang ke majelis kita ini. Karena orang-orang di Baghdad telah memberitakan melalui surat kepada kami bahwa orang ini (yakni Al-Bukhari) mengatakan bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk. Kata mereka yang ada di Baghdad bahwa Al-Bukhari telah dinasehati untuk jangan berkata demikian, tetapi dia terus mengatakan demikian. Oleh karena itu, jangan ada yang mendekatinya dan barangsiapa mendekatinya maka janganlah mendekati kami."
Tentu saja dengan telah terlibatnya Imam Adz-Dzuhli, fitnah semakin meluas. Hal ini terjadi karena Adz-Dzuhli adalah imam yang sangat berpengaruh di seluruh wilayah Khurasan yang beribukota di Naisabur itu. Bahkan lebih lanjut Al-Imam Adz-Dzuhli menegaskan: "Al-Qur'an adalah kalamullah (yakni firman Allah) dan bukan makhluk dari segala sisinya dan dari segala keadaan. Maka barangsiapa yang berpegang dengan prinsip ini, sungguh dia tidak ada keperluan lagi untuk berbicara tentang lafadhnya ketika membaca Al-Qur'an atau omongan yang serupa ini tentang Al-Qur'an. Barangsiapa yang menyatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir dan keluar dari iman, dan harus dipisahkan dari istrinya serta dituntut untuk taubat dari ucapan yang demikian. Bila dia mau taubat maka diterima taubatnya. Tetapi bila tidak mau taubat, harus dipenggal lehernya dan hartanya menjadi rampasan Muslimin serta tidak boleh dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Dan barangsiapa yang bersikap abstain dengan tidak menyatakan Al-Qur'an sebagai makhluk dan tidak pula menyatakan Al-Qur'an bukan makhluk, maka sungguh dia telah menyerupai orang-orang kafir. Barangsiapa yang menyatakan "lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk", maka sungguh dia adalah Ahli Bid'ah (yakni orang yang sesat). Tidak boleh duduk bercengkrama dengannya dan tidak boleh diajak bicara. Oleh karena itu, barangsiapa setelah penjelasan ini masih saja mendatangi tempatnya Al-Bukhari, maka curigailah ia karena tidaklah ada orang yang tetap duduk di majelisnya kecuali dia semadzhab dengannya dalam kesesatannya. "
Dengan pernyataan Adz-Dzuhli seperti ini, berdirilah dari majelis itu Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah. Bahkan Imam Muslim mengirimkan kembali kepada Adz-Dzuhli seluruh catatan riwayat hadits yang didapatkannya dari Imam Adz-Dzuhli, sehingga dalam Shahih Muslim tidak ada riwayat Adz-Dzuhli dari berbagai sanad yang ada padanya.
Sikap Imam Muslim bin Hajjaj dan Ahmad bin Salamah yang seperti itu menyebabkan Adz-Dzuhli semakin marah sehingga beliau pun menyatakan: "Orang ini (yakni Al-Bukhari) tidak boleh bertempat tinggal di negeri ini bersama aku."
Kemarahan Adz-Dzuhli seperti ini sangat menggusarkan Ahmad bin Salamah, salah seorang pembela Al-Bukhari. Dia segera mendatangi Al-Bukhari seraya mengatakan: "Wahai Abu Abdillah (yakni Al-Bukhari), orang ini (yakni Adz-Dzuhli) sangat berpengaruh di Khurasan, khususnya di kota ini (yakni kota Naisabur). Dia telah terlalu jauh dalam berbicara tentang perkara ini sehingga tak seorang pun dari kami bisa menasehatinya dalam perkara ini. Maka bagaimana pendapatmu?"
Al-Imam Al-Bukhari amat paham kegusaran muridnya ini sehingga dengan penuh kasih sayang beliau memegang jenggot Ahmad bin Salamah dan membaca surat Ghafir 44 yang artinya: "Dan aku serahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hamba-hamba- Nya." Kemudian beliau menunduk sambil berkata: "YA Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku tinggal di Naisabur tidaklah bertujuan jahat dan tidak pula bertujuan dengan kejelekan. Engkau juga mengetahui ya Allah, bahwa aku tidak mempunyai ambisi untuk memimpin. Hanyasaja karena aku terpaksa pulang ke negeriku karena para penentangku telah menguasai keadaan. Dan sungguh orang ini (yakni Adz-Dzuhli) membidikku semata-mata karena hasad (dengki) terhadap apa yang Allah telah berikan kepadaku daripada ilmu." Wajah beliau sendu menyimpan kekecewaan yang mendalam. Dan dia menatap Ahmad bin Salamah dengan mantap sambil berkata: "wahai Ahmad, aku akan meninggalkan Naisabur besok agar kalian terlepas dari berbagai problem akibat omongannya (yakni omongan Adz-Dzuhli) karena sebab keberadaanku. " Segera setelah itu Al-Bukhari berkemas-kemas untuk mempersiapkan keberangkatannya besok kembali ke negeri Bukhara.
Rencana Al-Bukhari untuk pulang ke negeri Bukhara sempat diberitakan oleh Ahmad bin Salamah kepada segenap kaum Muslimin di Naisabur, tetapi mereka tidak ada yang berselera untuk melepasnya di batas kota. Sehingga Al-Imam Al-Bukhari dilepas kepulangannya oleh Ahmad bin Salamah saja dan beliau berjalan sendirian menempuh jalan darat yang jauh menuju negerinya yaitu Bukhara. "Selamat tinggal Naisabur, rasanya tidak mungkin lagi aku berjumpa denganmu."
BADAI DI NEGERI BUKHARA
Di negeri Bukhara telah tersebar berita bahwa Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari sedang menuju Bukhara. Penduduk Bukhara melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan diceritakan oleh Ahmad bin Mansur Asy-Syirazi bahwa dia mendengar dari berbagai orang yang menyaksikan peristiwa penyambutan Al-Bukhari di negeri Bukhara, dikatakan bahwa masyarakat membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih 5 km) sebelum masuk kota Bukhara. Dan ketika Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari telah sampai di gapura "selamat datang" tersebut, beliau mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka cita, sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Al-Bukhari. Mereka berdiri di kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah itu para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah madzhab Hanafi, sedangkan Al-Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian Ahli Hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu sehingga yang nampak pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan pengamalan madzhab Hanafi. Orang dalam beriqamat untuk shalat jamaah tidak lagi menggenapkan bacaan qamat seperti adzan, tetapi membaca qamat dengan satu-satu sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits shahih. Ketika bertakbir dalam shalat semula tidak mengangkat tangan sebagaimana madzhab Hanafi, sekarang mereka bertakbir dengan mengangkat tangan.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi Wuraiqa' menyatakan tentang Al-Imam Al-Bukhari: "Orang ini pengacau. Dia akan merusakkan kehidupan keagamaan di kota ini. Muhammad bin yahya telah mengusir dia dari Naisabur, padahal dia imam Ahli Hadits."
Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai berusaha untuk mempengaruhi gubernur Bukhara agar mengusir Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari ini. Gubernur negeri ini yang bernama Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli.
Gubernur Khalid pernah meminta Al-Bukhari untuk datang ke istananya guna mengajarkan kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Tetapi Al-Imam Al-Bukhari menolak permintaan gubernur tersebut dengan mengatakan: "Aku tidak akan menghinakan ilmu ini dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku, atau ke rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku punya alasan di sisi Allah di hari kiamat bahwa aku tidaklah menyembunyikan ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya) ." Tentu gubernur Khalid dengan jawaban ini sangat kecewa. Maka berkumpullah padanya penghasutan Huraits bin Abil Wuraqa' dan kawan-kawan serta kekecewaan pribadi gubernur ini. Huraits dan gubernur Khalid akhirnya sepakat untuk membikin rencana mengusir Muhammad bin Ismail dari Bukhara. Lebih-lebih lagi telah datang surat dari Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur kepada gubernur Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli di Bukhara yang memberitakan bahwa Al-Bukhari telah menampakkan sikap menyelisihi sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Dengan demikian matanglah rencana pengusiran Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dari negeri Bukhara.
Upaya pengusiran itu bermula dengan dibacakannya surat Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli di hadapan segenap penduduk Bukhara tentang tuduhan beliau kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari bahwa beliau telah berbuat bid'ah dengan mengatakan bahwa "lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk". Tetapi dengan pembacaan surat, penduduk Bukhara pada umumnya tidak mau peduli dengan tuduhan tersebut dan terus memuliakan Al-Imam Al-Bukhari. Namun gubernur Khalid akhirnya mengusirnya dengan paksa sehingga Al-Imam Al-Bukhari sangat kecewa dengan perlakuan ini. Dan sebelum keluar dari negeri Bukhara, beliau sempat mendoakan celaka atas orang-orang yang terlibat langsung dengan pengusirannya. Ibrahim bin Ma'qil An-Nasafi menceritakan: "Aku melihat Muhammad bin Ismail pada hari beliau diusir dari negeri Bukhara, aku mendekat kepadanya dan aku bertanya kepadanya: "Wahai Abu Abdillah, apa perasaanmu dengan pengusiran ini?" Beliau menjawab: "Aku tidak peduli selama agamaku selamat."
Al-Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk Bukhara dengan penuh kepiluan. Beliau berjalan menuju desa Bikanda kemudian berjalan lagi ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkan. Di desa terakhir inilah beliau jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya penduduk desa tersebut.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke enampuluh dua tahun, beliau berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah Ta`ala: "Ya Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku keharibaan-Mu. " Dan sesaat setelah itu ia pun menghembuskan nafas terakhir dan selamat tinggal dunia yang penuh onak dan duri.
PEMBELAAN AL-BUKHARI
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengakhiri hidupnya di desa Khartanka, Samarkan pada malam Sabtu di malam hari Raya Fitri (Iedul Fitri) 1 Syawsal 256 H. sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, beliau sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala) dan tanpa baju. Dan beliau berwasiat agar kain kafannya berwarna putih. Semua wasiat beliau itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat beliau yang merawat jenasahnya. Beliau dikuburkan di desa itu di hari Iedul Fitri 1 Syawal 256 H setelah shalat Dhuhur. Dan seketika selesai pemakamannya, tersebarlah bau harum dari kuburnya dan terus semerbak bau harum itu sampai berhari-hari.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad Adz-Dzuhli menuai hasil dari kedhalimannya dengan datangnya keputusan pencopotan terhadap jabatannya dari Khalifah Al-Muktamad karena tuduhan ikut terlibat pemberontakan Ya'qub bin Al-Laits terhadap Khilafah Ath-Thahir. Khalid bin Ahmad akhirnya dipenjarakan di Baghdad sampai mati di penjara pada tahun 269 H. Sedangkan Huraits bin Abil Waraqa' ditimpa kehancuran pada anak-anaknya yang berbuat tidak senonoh. Para penentang Imam Bukhari menyatakan penyesalannya dan kesedihannya dengan wafatnya beliau dan sebagian mereka sempat mendatangi kuburnya.
Mulailah setelah itu orang berani menyebarkan pembelaan Al-Imam Al-Bukhari dari segala tuduhan miring terhadap dirinya. Tetapi berbagai pembelaan itu selama ini tenggelam dalam hiruk pikuk fitnah tuduhan keji terhadap diri beliau. Dan Allah Maha Adil terhadap hamba-hamba- Nya.
Muhammad bin Nasir Al-Marwazi mempersaksikan bahwa Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari menyatakan: "Barangsiapa yang mengatakan bahwa aku telah berpendapat bahwa lafadhku ketika membaca Al-Qur'an adalah makhluk, maka sungguh dia adalah pendusta, karena sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan demikian."
Abu Amr Ahmad bin Nasir An-Naisaburi Al-Khaffaf mempersaksikan bahwa Al-Imam Al-Bukhari telah mengatakan kepadanya: "Wahai Abu Amir, hafal baik-baik apa yang aku ucapkan: Siapa yang menyangka bahwa aku berpendapat bahwa lafadhku tentang Al-Qur'an adalah makhluk, baik dia dari penduduk Naisabur, Qaumis, Ar-Roy, Hamadzan, Hulwan, Baghdad, Kuffah, Basrah, Makkah, atau Madinah, maka ketahuilah bahwa yang menyangka aku demikian itu adalah pendusta. Karena sesungguhnya aku tidaklah mengatakan demikian. Hanya saja aku mengatakan: Segenap perbuatan hamba Allah itu adalah makhluk."
Yahya bin Said mengatakan: "Abu Abdillah Al-Bukhari telah berkata: Gerak-gerik hamba Allah, suara mereka, tingkah laku mereka, segala tulisan mereka adalah makhluk. Adapun Al-Qur'an yang dibaca dengan suara huruf-huruf tertentu, yang ditulis di lembaran-lembaran penulisan Al-Qur'an, yang dihafal di hati para penghafalnya, maka semua itu adlaah kalamullah (perkataan Allah) dan bukan makhluk."
Ghunjar membawakan riwayat dengan sanadnya sampai ke Al-Firabri, dia mengatakan bahwa Al-Bukhari telah mengatakan: "Al-Qur'an kalamullah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk maka sungguh dia telah kafir." Bahkan Al-Imam Al-Bukhari menulis kitab khusus dalam masalah ini dengan judul Khalqu Af`alil Ibad yang padanya beliau menjelaskan pendirian beliau dalam masalah ini dengan gamblang dan jelas serta lengkap dan ilmiah.
Fitnah itu memang kejam, lebih kejam dari pembunuhan. Dia tidak akan memilih antara orang jahil atau orang alim dari kalangan ulama. Dan ulama pun bisa salah dalam memberikan penilaian, karena yang ma'shum (terjaga dari kesalahan) hanyalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Orang-orang yang menyakini bahwa ulama itu ma'shum hanyalah para ahli bid'ah dari kalangan Rafidlah (Syiah) atau orang-orang sufi. Demikian pula orang-orang yang mencerca ulama karena kesalahannya semata tanpa mempertimbangkan apakah kesalahan itu karena kesalahan ijtihad ataukah kesalahan prinsip yang tak termaafkan, yang demikian ini adalah sikap sufaha' (orang-orang dungu) semacm sururiyyun (pengikut Muhammad bin Surur) atau haddadiyyun (pengikut Mahmud Al-Haddad). Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak menganggap para ulama itu ma'shum dan tidak pula melecehkan ulama ketika mendapati kesalahan mereka. Dengan prinsip inilah kita tetap memuliakan Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari. Dan juga kita memuliakan Al-Imam Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli. Kita mendoakan rahmat Allah bagi para imam-imam tersebut. Dan kita memahami segala perselisihan di kalangan mereka dengan ilmu Al-Qur'an dan As-Sunnah untuk mengerti mana yang benar untuk kita ikuti dan mana yang salah untuk kita tinggalkan.
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu berkata dan berbuat dengan bersandarkan kepada ilmu. Adalah bukan akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah bila segerombolan orang berbuat hura-hura dan kemudian menvonis seseorang atau sekelompok orang. Tertapi ketika ditanyai, apa dasar kamu berbuat demikian? Jawabannya: Kami masih menunggu fatwa dari ulama!
Kita katakan kepada mereka ini: "Apalagi yang kalian tunggu dari ulama setelah kalian berbuat, menvonis dan menilai? Apakah kalian berbuat dulu baru mencari pembenaran terhadap perbuatan kalian dengan fatwa ulama? Kalau begitu yang kalian tunggu adalah fatwa pembenaran dari ulama terhadap perbuatan kalian. tentu yang demikian ini bukanlah akhlak Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Gubernur Bukhara Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan mufti negeri Bukhara Huraits bin Abil Waraqa' telah menyimpan ketidaksenangan kepada Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari dan berencana untuk mengusirnya dari negeri Bukhara. Ketika sedang mencari-cari alasan pembenaran terhadap perbuatannya tiba-tiba datang surat dari Al-Imam Muhammad bin yahya Adz-Dzuhli dari Naisabur yang memperingatkan sang gubernur dari bahaya bid'ah yang dibawa oleh Al-Imam Al-Bukhari. Surat ini seperti kata pepatah: pucuk dicita ulam tiba. Tanpa selidik dan tanpa teliti, segera surat ini dibacakan di hadapan penduduk Bukhara dan setelah itu datanglah keputusan pengusiran Al-Bukhari dari negeri kelahirannya, sehingga yang diharapkan, kesan orang bahwa pengusiran itu karena semata-mata alasan agama dan bukan alasan yang lainnya.
Tetapi Allah Maha Tahu dan Dia membongkar segala kejahatan di balik alasan-alasan yang memakai atribut agama itu. Sehingga yang tertulis dalam sejarah Islam sampai hari ini adalah kesan buruk terhadap perbuatan Khalid bin Ahmad As-Sadusi dan Huraits bin Abil Waraqa'. Dan bukan kesan buruk yang dibikin-bikin oleh para pencoleng fatwa ulama itu. Camkanlah! Pengkhianatan dan kedustaan itu berulang-ulang terus dari masa ke masa. Hanya saja pemainnya yang berganti-ganti. Tetapi semua itu akan menjadi sejarah bagi anak cucu di belakang hari sebagaimana sejarah pengkhianatan dan kedustaan terhadap Al-Imam Al-Bukhari yang sekarang menjadi pergunjingan bagi generasi ini.


DAFTAR PUSTAKA
1). Al-Qur'anul Karim
2). At-Tarikhul Kabir, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Darul Fikr, tanpa tahun.
3). Kitabuts Tsiqat, Al-Imam Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Busti, darul Fikr, th. 1393 H / 1993 M.
4). Kitabul Jarh wat Ta`dil, Al-Imam Abi Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim At-Tamimi Al-Handlali Ar-Razi, darul Fikr, tanpa tahun.
5). Khalqu Af'alil Ibad, Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Muassasatur Risalah, th. 1411 H / 1990 M.
6). Tarikh Baghdad, Al-Imam Abi Bakr Ahmad bin Ali Al-Khatib Al-Baghdadi, Darul Fikr, tanpa tahun.
7). Al-Ikmal, Al-Amir Al-Hafidh Ali bin Hibatullah Abi Naser bin Makula, Darul Kutub Al-Ilmiah, th. 1411 H / 1990 M.
8). Thabaqatul Hanabilah, Al-Qadli Abul Husain Muhammad bin Abi Ya'la, Darul Ma'rifah, Beirut, Libanon, tanpa tahun.
9). Rijal Shahih Al-Bukhari, Al-Imam Abu Naser Ahmad bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bukhari Al-Kalabadzi, Darul Baaz, th. 1407 H / 1987 M.
10). Al-Kamil fit Tarikh, Al-Allamah Ibnu Atsir, Darul Fikr, tanpa tahun.
11). Tahdzibul Kamal, Al-Hafidh Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, Muassasatur Risalah, th. 1413 H / 1992 M.
12). Kitab Tadzkratul Huffadl, Al-Imam Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahabi, Darul Kutub Al-Ilmiah, tanpa tahun.
13). Siyar A`lamin Nubala', Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi, Muassasatur Risalah, th. 1417 H / 1996 M.
14). Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Hafidh Abul Fida' Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Darul Kutub Al-Ilmiyah, th. 1408 H / 1988 M.
15). Hadyus Sari Muqaddimah Fathul Bari, Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
16). Qaidah fi Jarh wat Ta'dil, Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab bin Ali As-Subki, Al-Maktabah Al-Ilmiah, Lahore, Pakistan, th. 1403 H / 1983 M.



Makna Syahadat

rsz_rsz_1masjid_1Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan berhak disembah, tidak ada ilah selain-Nya. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Pembahasan berikut akan mengupas kekeliruan dalam menafsirkan kalimat syahadat "laa ilaha illallah".

Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.”[1]

Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling utama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.”[2]

Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush sholih).

Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?

Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.

Tafsiran Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ = ‘Tiada Tuhan Selain Allah’

Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?

Makna Ilah Adalah Tuhan?

Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna. Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan[3]. Mari kita tinjau dua makna ini.

Ilah = Pencipta, Pemberi Rizki, dan Pengatur Alam Semesta

Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?

Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak ayat/dalil.

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf: 87)

Perhatikanlah! Dalam ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupkan mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah (yang berkaitan dengan perbuatan Allah) saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106)

Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”[4]

Dari sini terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?

Kalau diartikan demikian, lalu apa yang membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?

Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas.

Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah.

Hanya Allah Saja Sesembahan Yang Benar

Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada sesembahan selain Allah’.

Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’budatau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga dengan sesembahan.[5]

Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.

Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.

“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang yang menentang ini.

Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” -Demikian yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi-[6]. Di samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah. Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata.

Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’?

Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.

Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ

“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman: 30). Oleh karenanya, tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].

Merujuk Tafsiran Para Ulama

Jika kita merujuk tafsiran para ulama, kita akan mendapati tafsiran laa ilaha illallah sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Ath Thobary tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 106). Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia beliau mengatakan, ‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.[7]

Ibnu Katsir mengatakan tentang tafsir firman Allah,

وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ

“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash: 70) “Maksudnya adalah Allah bersendirian dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada pencipta selain Dia.”[8]

Asy Syaukani mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi (Al Baqarah ayat 255),

لاَ إله إِلاَّ هُوَ

Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah], beliau menafsirkan ilah adalah, “Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”[9]

Fakhruddin Ar Rozi -yang merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,

ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ

“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am: 102), di mana tidak ada ilah selain Dia adalah, “Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan menyembah kepada selain-Nya.”[10]

As Suyuthi dalam Tafsir Al Jalalain ketika menafsirkan ayat kursi (surat Al Baqarah ayat 255),

اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ

“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.” Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata, “Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”

Itulah tafsiran para ulama yang sangat mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna. Kesimpulannya, makna ‘laa ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah. Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Artikel Buletin At Tauhid edisi 06/ Tahun VI, terbit setiap Jumat di sekitar kampus UGM Yogyakarta



[1] HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621

[2] Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55

[3] Lihat Sucikan Iman Anda, Abu Isa ‘Abdullah bin Salam, hal. 17, Pustaka Muslim.

[4] Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal. 10-11, Dar Al Imam Ahmad

[5] Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75.

[6] Lihat Ma’arijul Qobul, Asy Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakamiy, 1/325, Darul Hadits Al Qohiroh

[7] Tafsir Ath Thobari (Jaami’ul Bayan fii Ta’wili Ayil Qur’an), Ibnu Jarir Ath Thobari, 9/479, Dar Hijr.

[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 10/479, Muassasah Qurthubah.

[9] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 1/366, Mawqi’ At Tafasir.

[10] Mafaatihul Ghoib, Fakhrudin Ar Rozi, 6/412, Mawqi’ At Tafasir.